Jangan Selalu Melihat ke Atas, Agar Tak Tersesat Jalan

By Admin

nusakini.com---Marak, kepala daerah yang kena jerat operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Beberapa yang ditangkap lewat operasi tangkap tangan (OTT) hendak maju lagi dalam pemilihan kepala daerah.

Mereka yang hendak bertarung tapi kesandung kasus adalah Bupati Ngada, NTT, Marianus Sae, Bupati Jombang Nyono Suharli Wiyandoko, dan Bupati Subang, Imas Aryumningsih. Terbaru Bupati Lampung Tengah, Mustafa juga terpaksa harus digelandang ke Rasuna Said, karena terjerat OTT KPK.  

Marianus dan Mustafa, seperti diketahui hendak maju sebagai calon gubernur. Marianus berniat maju sebagai calon Gubernur NTT. Tapi sehari menjelang pengumuman daftar calon, ia keburu kena cokok KPK.

Sementara Mustafa, sudah ditetapkan sebagai calon Gubernur Lampung. Namun kini, Mustafa harus melupakan semaraknya kampanye pemilihan. Dan terpaksa harus pakai rompi tahanan KPK, karena oleh komisi anti rasuah, ia telah ditetapkan sebagai tersangka.  

Menanggapi maraknya kepala daerah yang kena OTT, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, pada akhirnya kasus korupsi yang melilit kepala daerah kembali ke mental pribadi masing-masing kepala daerah. Karena dari sisi sistem sebenarnya sudah cukup ketat. Disamping, sudah banyak contoh kasus serupa yang terjadi. Harusnya, jika kepala daerah takut, kasus yang marak terjadi, jadi pelajaran berharga untuk hati-hati dalam bertindak. Nyatanya tidak, karena kemudian masih saja ada yang kena cokok KPK.  

"Ya sebagai Mendagri, sebagai teman kepala daerah, kami sedih dan prihatin kenapa masih terus terjadi (OTT). Kenapa tidak belajar dari yang sudah kita saksikan," kata Tjahjo usai memberi arahan di acara seminar nasional Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Pemerintahan Desa seluruh Indonesia (APDESI) Provinsi Jawa Tengah, di Boyolali, beberapa waktu lalu.

Tidak hanya itu, baik Presiden maupun dirinya sudah sering mengingatkan. Hati-hati dan pahami area rawan korupsi. Tapi tetap saja ada yang kena tangkap. Bahkan, ada yang ditangkap sehabis diceramahi Presiden.  

Gaji kepala daerah memang belum besar. Bahkan bisa dikatakan kecil. Tapi, kata Tjahjo, bukan alasan untuk kemudian berbuat lancung, mencuri uang rakyat atau menyalahgunakan kekuasaan. Sebagai saudara, mitra dan juga sebagai Mendagri, tentu ia prihatin. Sedih dan terpukul. Ia mengaku sering mengingatkan. Bahkan tak bosan mewanti-wanti. Taat aturan. Dan bekerja saja dengan berkiblat pada aturan, biar selamat.  

Tjahjo pun memberi nasehat, agar jangan selalu melihat keatas. Bila selalu merasa kurang, rawan terjerat sikap tamak. Tak tahan godaan, akhirnya terjerembab. Serakah. Dan tak peduli pada aturan. Semua ditabrak. Padahal yang didapat adalah jalan sesat. Jalan yang menuju ke penyesalan.  

"Kalau kita melihatnya ke atas ya enggak akan puas puas, kalau lihat ke bawah ini ada temen- temen, ada yang sehari saja hanya makan sehari dua kali, misalnya begitu. Tapi setidaknya saya mengingatkan, buat saya sendiri, harus hati hati," katanya. 

Sebagai Mendagri, ia wajib mengingatkan. Soal nanti didengar, dan ditaati kembali ke diri masing-masing. Kembali ke hati nurani masing-masing. Apakah ingin jadi pemimpin karena memang ingin mengabdi? Atau karena ingin mengumpul pundi. Jika yang terakhir yang jadi tujuan, siap-siaplah masuk bui. Pesan Tjahjo harusnya jadi renungan. Jadi bahan untuk introspeksi. Jangan sampai 'takhta' yang didapat berujung penjara. Jangan sampai seperti itu. Karena 'takhta' yang dapat memuat mandat. Mandat dari rakyat. Mandat yang harus berbuah maslahat. Bukan laknat. Bukan khianat. (p/ab)